Thursday, April 29, 2010

Wisata sepeda keliling Kota Tua

Menelusuri jejak keemasan Batavia masa lampau, kini bisa dilakukan dengan ojek sepeda di kawasan Kota Tua Jakarta.

Kegiatan ini bisa dilakukan dengan menyediakan waktu luang antara 1,5 sampai 2 jam diatas sadel sepeda, mengelilingi situs seluas kira-kira 2 kilometer persegi.

Pengendara yang juga pemilik sepeda, selanjutnya akan membawa penumpang berkeliling lima lokasi wisata sejarah, sambil memberikan berbagai penjelasan tentang sejarah lokasi-lokasi tersebut.

Jejak keemasan Batavia masa lampau tergambar jelas dari perjalanan ini.

Tarmuji, biasa dipanggil Pak Muji, adalah pendiri sekaligus salah satu pengemudi sepeda ojek wisata paling senior di Kota Tua Jakarta.

Layanan ojek sepeda keliling Kota Tua diberikan Muji dan kawan-kawan biasa mangkal di lapangan Fatahillah, sebuah arena terbuka seluas kira-kira lapangan bola, terletak persis di depan Museum Sejarah atau lebih dikenal dengan nama museum Fatahillah.

Lokasi ini menyatukan tiga lokasi wisata sejarah Kota Tua sekaligus, yakni Museum Fatahillah sendiri, Museum Wayang dan Museum Keramik. Masing-masing berhadapan sehingga bisa dikunjungi sekaligus.

Banyak bangunan bersejarah dibiarkan rusak nyaris ambruk

"Konsumen ojek sepeda wisata ini, kebanyakan turis lokal yang banyak datang ke Taman Fatahillah," kata Muji.

Target utamanya adalah rombongan anak sekolah, yang sebagian besar menyempatkan mampir ke Museum Fatahillah untuk melihat warisan budaya Jakarta masa lalu.

Dalam sepekan biasanya ratusan hingga sekitar ribuan wisatawan datang. Muji dan kawan-kawan menunggu, dengan berbagai jenis dan merek sepeda.

Kebanyakan pengunjung yang menyewa, memilih dibonceng saja. Biayanya Rp 25.000 untuk satu jam sewa.

"Kalau mau naik sendiri atau boncengan dengan teman boleh juga. Biaya sewanya Rp 20.000,'' tambah Muji.

Untuk satu putaran, penyewa akan dibawa berkeliling, dengan tujuan pertama menuju Pelabuhan Sunda Kelapa, Menara Syahbandar, Museum Bahari, jembatan Raden Inten dan lokasi Toko Merah, sebelum dibawa kembali ke Lapangan Fatahillah.

Dibiarkan rusak

Selain lalu lintas yang luar biasa padat, pemandangan menyolok dari kawasan Kota Tua adalah banyaknya gedung dan bangunan bersejarah yang kurang terawat.

Muji mengatakan, sebagian bangunan ini memang merupakan milik swasta. Beberapa dijadikan kantor perusahaan, seperti ruang pamer mobil dan agen jual-beli tiket perjalanan.

"Tapi banyak yang milik pemerintah juga. Yang ini contohnya, dulu milik Petamina, entah mengapa sampai sekarang tidak dipakai lagi," keluh Muji.

Karena usia yang sudah melampaui satu abad, tidak heran banyak gedung yang nyaris ambruk. Menurut Muji, bahkan banyak yang dari luar nampak masih tegak sebenarnya di dalam sudah keropos dan hancur.

Beberapa gedung seperti gedung milik PT Samudera Indonesia di Jalan Kali Besar juga rusak akibat genangan air dan banjir.

Tiang Gedung Museum Bahari bahkan sempat ambrol sebelumnya juga akibat banjir.

Untungnya, ini tidak terjadi pada Pelabuhan Sunda Kelapa.

Pelabuhan berumur lebih dari lima abad ini ternyata sampai kini masih ramai menjadi pusat kapal niaga berlabuh.

Saat kami berkunjung, Sunda Kelapa sesak oleh ratusan kapal yang rapi berderet di pinggir galangan. Sebagian besar datang dari penjuru nusantara, kata Muji, bukan kapal asing.

"Bedanya dengan dulu sebelum masa reformasi, sekarang kapal banyak bawa bahan mentah seperti bahan makanan atau semen."

Kapal sandar di Pelabuhan Sunda Kelapa sejak tahun 1573

"Kalau dulu banyak bawa kayu dari luar Jawa. Setelah reformasi dan ramai berita tentang illegal logging, kayu jarang dibawa ke Sunda Kelapa," tambah Muji.

Dari Sunda Kelapa rute selanjutnya adalah Menara Syahbandar. Tidak jauh hanya sepelemparan batu jaraknya.

Namun jalan yang menanjak dan lalu lintas yang ganas biasanya cukup membuat penumpang khawatir.

Maklum, ojek sepeda biasanya tidak dilengkapi dengan pengaman seperti helm.

Di menara, hanya dengan membayar sebesar Rp 2.000 rupiah, pengunjung bisa naik hingga lantai enam setinggi kira-kira 30 meter.

Penataan kacau

Dari atas, nampak pemandangan sekitar Kota Tua. Sekaligus jelas juga betapa kacaunya penataan ruang di kawasan ini.

Atap gedung berarsitektur kuno Belanda bercampur-baur dengan tumpukan atap seng serta asbes rumah penduduk yang muncul di mana-mana.

Sampah dan air Kali Besar yang hitam juga nampak jelas berbaur dengan lalu-lintas yang diselimuti asap agak pekat.

"Lingkungan sekitar Kota memang sudah buruk penataannya sejak lama, termasuk sistem saluran pembuangan limbah. Padahal dahulu, sejak Batavia didirikan pada 1527, saluran Kali Besar termasuk yang paling bersih di Asia," kata Muji tentang pentingnya penataan ulang kawasan ini.

Gedung Museum Bahari misalnya, terletak di Jalan Pasar Ikan No.1 , berseberangan dengan rumah penduduk beratap seng dan dibangun campur aduk tanpa penataan.

Sekitar tahun 1720-an, Museum Bahari merupakan gudang tembakau dan rempah-rempah milik VOC Belanda.

Museum Bahari sebelah kiri berhadapan dengan rumah warga

Agar kegiatan bongkar-muat mudah dilakukan, gedung ini didirikan persis di bibir pantai Pelabuhan Sunda Kelapa.

Bibir pantai itu sudah lama hilang, digantikan bangunan rumah penduduk yang semrawut, dihiasi tumpukan sampah disana-sini.

"Saya dengar mau ada netralisasi kawasan pelabuhan, katanya 5-6 tahun lagi rencananya Pemda DKI mau mengembalikan kawasan ini seperti masa dulu lagi," kata Muji setengah berharap.

Berikutnya sampai di Jembatan Kota Inten, sebuah jembatan kayu diatas Kali Besar, sekitar 5 abad lalu merupakan jembatan pertama yang mengaplikasikan teknologi jungkit.

Jembatan akan membuka dan menutup bila kapal besar melayari Kali Besar menuju pelabuhan Sunda Kelapa.

Kini kanal sekeliling jembatan kini didandani dengan lampu dan trotoar bersih, kabarnya karena ada rencana menggunakannya sebagai sarana wisata air.

Lagi-lagi, rencana itu belum terwujud.

Bangunan disewakan

Di jalan menuju jembatan Jalan Inten, sejumlah bangunan kuno nampak masih terawat kokoh dan indah.

Misalnya sebuah gedung berlantai dua berjendela kayu besar, salah satu sisinya dihiasi lambang VOC, Verenigde Indische Oost Compagnie, perusahaan dagang Kompeni Belanda.

Bangunan itu tadinya adalah galangan kapal yang kini disewakan untuk kantor perusahaan.

Sebelahnya disewakan untuk sebuah restoran Cina dan Sunda.

Meski nampak lebih terawat, Pak Muji mengkritik persewaan bangunan tua ini.  "Mestinya kan dipelihara negara, untuk museum atau lokasi gedung pemerintahan gitu," protes Muji.

Lima tujuan ojek sepeda Kota Tua
Pelabuhan Sunda Kelapa: masih berfungsi sejak 1573 ratusan kapal bersandar tiap hari
Menara Syahbandar: tinggi sekitar 30m memberi pemandangan menyeluruh kawasan Kota Tua
Museum Bahari: didirikan 1652 sebagai gudang rempah-rempah VOC, jaman Jepang jadi gudang senjata dan kini menyimpan benda sejarah bahari nusantara
Jembatan Raden Inten: jembatan dengan teknologi Jungkit pertama di Indonesia, dibangun untuk memudahkan kapal VOC melewati Kali Besar menuju Sunda Kelapa
Toko Merah: didirikan tahun 1730 oleh Gubernur Jendral Belanda terakhir ditutup polisi karena menjadi arena judi

Nasib yang hampir sama dialami Toko Merah.

Tidak ada barang apapun dijual disini, karena memang sudah lama tutup.

Menurut sejarahnya, bangunan asli toko ini adalah asrama untuk kadet angkatan laut Belanda didirikan oleh Gubernur Jendral Belanda GustaaF Willem Baron van Imhoff tahun 1730.

Bangunan megah berlantai dua berukuran besar dengan dinding bata, pintu dan jendela dari kayu jati hitam ini kemudian beralih pemilik pada seorang saudagar Cina.

Karena kepercayaannya akan warna merah yang dianggap membawa keberuntungan, sang pedagang mengubah cat bangunan itu menjadi seluruhnya merah, kecuali bingkai kayu pada jendela dan pintunya.

Nama bangunan pun berubah jadi Toko Merah, menjual rempah-rempah.

Terakhir bangunan ini berfungsi sebagai arena judi, kata Muji.

"Makanya disebut Kaliber 11 singkatan dari alamatnya Jalan Kali Besar No 11. Tiga tahun lalu tempat ini ditutup polisi, dipimpin sendiri oleh Jendral Sutanto."

Masih nampak kuat, jendela-jendela gedung Toko Merah nampak kusam oleh debu dan sisa hujan.

Karena kosong dan tidak dipakai, Toko Merah menambah lagi daftar panjang bangunan bersejarah yang terancam rusak di kawasan Kota Tua.

Penataan kawasan

Meski masih harus banyak dibenahi, penampilan Kota Tua sekarang ini jauh lebih baik.

Menurut Muji, berbagai upaya dilakukan untuk membuat Kota Tua jadi lebih nyaman.

Diantaranya penataan kawasan Museum Fatahillah, di mana lalu lintas yang tadinya melalaui kawasan ini dialihkan.

Juga sekitar Jembatan Raden Inten, yang tadinya dikenal sebagai kawasan remang-remang dan rawan kejahatan.

Kanal Kali Besar bahkan dilengkapi dengan halte perahu, yang tadinya direncanakan mantan Gubernur Sutiyoso sebagai fasilitas water way.

Yang terakhir, terkait rencana mengembalikan fungsi kawasan Museum Bahari, dengan menata ulang permukiman sekitarnya.

 Ya kita tunggu saja, meskipun kagak tahu kapan terlaksana
 
Tarmuji

"Ya kita tunggu saja, meskipun kagak tahu kapan terlaksana," kata Muji sambil tersenyum.

Rencana apapun untuk mengembalikan fungsi kawasan Kota Tua, menurut Muji, sangat ditunggu pelaku pariwisata seperti dirinya.

Penataan tersebut penting bagi pelaku pariwisata seperti Muji, untuk memastikan kawasan Kota Tua tetap diminati wisatawan.

Dengan penataan juga diharapkan kesemrawutan dan polusi berkurang disekitar daerah ini.

Karena dekat dengan pusat niaga Glodok dan Pelabuhan Sunda Kelapa, lalu-lintas jalanan sekitar Kota Tua sangat padat.

Bukan saja keahlian khusus dan keberanian, tapi dibutuhkan pula kesehatan prima pengojek untuk membelah kepadatan ini dengan bersepeda.

Mereka harus berhadapan langsung dengan polusi asap kendaraan maupun aroma Kali Besar yang berbau menyengat.

Saat ditanya tentang bagaimana caranya menghindari polusi, Muji mengaku kebal."Tidak apa, sudah biasa," katanya sambil tertawa.


No comments:

Post a Comment